Ini merupakan CERPEN yang kubuat saat ikut lomba Event Penerbit Indi dan berhasil LOLOS TINGKAT NASIONAL di Penerbit CV. Karya Pedia. Buat yang sering tanya-tanya tentang gimana resepnya Cerpen yang dibuat bisa lolos Tingkat Nasional. Cekidot!
"Baca sampai selesai gaes, tolong jangan dinakalin! Cerpen ini sudah termuat di Buku FINDING A DREAM ber-ISBN bisa di cek pada isbn.perpusnas.go.id."
Happy reading!
REACH YOUR DREAM
Karya Firda Shiewa
“Tasha!” Suara itu segera mengalihkan kegalauan malamku. Kini hentakkan langkah yang tak asing lagi, ternyata sangat khas di gendang telingaku. Sejenak aku berpikir, segera kumeloncat dari tempat duduk meja belajarku dan terbaring ke kasur berwarna merah muda dengan pernak-pernik kombinasi estetika.
“Tasha, kau....” Terhenti sesaat, ketika telah mendapatiku tertidur pulas. Kak Ines. Namanya adalah Ines. Kakak sepupuku yang selalu merawatku sekitar dua pekan terakhir. Lalu, Kak Ines pergi meninggalkan kamarku.
“Maafkan aku, Kak. Aku terpaksa melakukan ini,” batinku sambil melihat foto keluarga bahagia yang selalu menemani tidurku.
Tepat pukul 00.00 WIB, aku terbangun dan segera menyalakan laptopku. Perlahan kubuka akun sosial mediaku seperti biasanya aku selalu memposting sejumput diksi suara hatiku. Lalu kudengarkan lagu-lagu Pop Ballad yang sangat merdu dengan memakai headset warna pink di telingaku. Tak lama kemudian, postingan sejumput diksi suara hatiku mendapat suka dan komentar yang cukup membangun jiwa seniku.
“Puisi itu sangat sederhana untuk memberikan sebuah pengertian apa maunya hati,” gerutuku sambil men-scroll down dan melihat-lihat berbagai macam postingan tentang puisi.
Tiba-tiba ada satu hal yang sangat sulit untuk dijelaskan. Namun, aku tetap mengabaikan hal itu. Kini kuputuskan untuk mengikuti sebuah kuis yang berbentuk puisi di sebuah group yang terdapat pada akun sosial media bernama facebook. Tanpa ragu aku mengikuti lomba tersebut.
Seminggu lamanya penilaian itu berlangsung, hari ini tepat malam Sabtu. Kebiasaan tengah malamku bermalam pada sosial media dan merangkai sejumput aksara yang menyayat kalbu. Aku tak pernah bermimpi dengan hobi baruku ini. Terkejutlah mataku melihat nama dan puisiku menjadi salah satu karya yang terbaik dari karya yang terbaik lainnya!
“Tasha!” seru Kak Ines membuka pintu kamarku secara tiba-tiba dengan campuran ekspresi khawatir dan keheran-heranan.
Aku diam seketika dan menutup laptopku serta tak mau memandang Kak Ines. Suasana yang sangat berkombinasi ini mengantarkan langkah kaki Kak Ines mendekatiku dan meraih laptopku. Akan tetapi, tangan mungil ini segera menahan tangan Kak Ines. Suara hati ini selalu menolak dan tak ingin terlihat.
“Tasha, kau sedang apa dengan laptopmu? Mengapa tengah malam berteriak-teriak bahagia?” tanya Kak Ines menyelidik.
“Tadi dari atas ada kucing, Kak. Jadi, teriak cempreng ketakutan.” Begitulah ucapku untuk mengelak dan menyembunyikan sesuatu yang telah membuatku tak percaya.
Kak Ines pun keluar dan kembali menuju tempat tidurnya. Tarik napas yang dalam. Lalu kembali kukeluarkan. Ya, hanya itu yang dapat membuat lega. Sergapku kembali beroprasi pada rasa tak percaya dengan segera aku meneliti baik-baik nama dan karyaku di papan pengumuman kuis puisi group itu.
Dini hari, reward kuis puisi telah kuterima berupa sebesar pulsa Rp 50.000,00. Kucari lagi lomba-lomba atau kuis yang berbentuk puisi dan aku mengikutinya. Terlintas dipikiranku, melihat naskah-naskah puisi yang kubuat di laptopku berceceran, penuh dengan tekad dan rasa isengku untuk mengirimkannya.
Seminggu kemudian, pengumuman lomba telah tiba. Kucari dengan teliti nama dan karyaku. Ternyata kali ini, aku tak seberuntung dua minggu lalu. Rasa penasaranku mulai bertambah hingga rasanya aku ingin sekali mengikuti semua lomba-lomba menulis puisi. Sungguh, kejutan kembali digelar! Aku bersyukur dengan usahaku yang tak sia-sia dan tetap semangat dalam berkarya.
Keesokkan harinya, Kak Ines terkejut melihat namaku tertera di buku Antologi Puisi Bersama. Sekujur tubuhku tak mampu lagi untuk menghindari itu semua. Air mata yang tak mampu lagi kusembunyikan mendapat balasan pelukan erat dari seorang kakak yang sangat kuinginkan.
“Maafkan, Kak Ines. Mungkin, Kak Ines terlalu egois dan menekan kamu dengan keras. Adikku, Kak Ines baru menyadari bahwa kau mempunyai bakat tetapi selalu kau sembunyikan. Kakak janji kepadamu, tidak akan melarangmu untuk mengembangkan bakatmu di dunia sastra. Justru kakak malu dengan diri kakak sendiri,” ucap Kak Ines dengan sepenuh hati.
“Kakak tak perlu meminta maaf. Adik sudah memaafkan kakak kok. Adik tahu, Kak Ines lakukan itu semua demi adikmu semata wayang ini,” bisikku lirih dan tetap memeluk erat Kak Ines.
“Raihlah mimpimu! Jangan pernah patah semangat dan menulislah dengan sukacita!” amanat Kak Ines yang kini mendukungku untuk mewujudkan impian-impianku yang sempat tertunda.
***
Sebulan telah berlalu merdu. Aku tetap merasa nyaman dengan rutinitas malamku. Waktu tengah malamku selalu habis untuk merangkai inspirasi-inspirasi yang ingin kuwujudkan. Tak kusangka, semua terjadi tanpa jeda dan adanya jarak. Melayang seperti memiliki sayap dan bebas mengitari angkasa.
“Tasha, kau bukan lagi sahabatku!” ujar Bella berbicara melalui video call.
“Apa maksudmu, Bell?” tanyaku penasaran.
“Sudahlah! Kita putus saja pertemanan ini,” tutup Bella dengan ketus.
Saat hendak kembali kumerangkai sejumput aksaraku, pikiran ini selalu kesal dan marah tak jelas. Akhirnya, aku mencoba untuk tidur dan menyudahi rangkaian aksara-aksaraku di laptop warna pink milikku hingga pagi berangkat sekolah, rasa semangatku tak lagi menggebu-gebu. Entahlah!
“Bella!” seruku memanggil namanya, ketika melihat Bella berada di depan pintu kelas.
“Kok, Bella kupanggil cuek sih! Padahal Bella kan tahu betapa tidak sukanya aku dicuekin begini,” gerutuku.
“Marahan ya, Sha dengan Bella?” tanya Evin tiba-tiba berada sejajar denganku.
“Kau, pemilik sajak-sajak yang tak mampu kusampaikan secara langsung karena aku takut menyakiti hatimu yang tak akan pernah memperjuangkanku,” batinku pada kedua bola mata Evin.
“Aku duluan ke kelas, Sha.” Begitu pamit Evin dengan khas dinginnya.
Kupusatkan kembali tujuan utamaku saat ini untuk menemui Bella. Semua koridor kutelusuri hingga ke ujung ruangan paling atas. Tak satupun kutemukan Bella. Jam pelajaran Matematika berlangsung, aku tetap mencari Bella.
“Bella, Tasha ke mana? Kok, tumben absen hari ini?” Suara khas dari Pak Dean, guru Matematika paling cool dan usia beliau sangat muda. Wajar saja, jika teman-teman perempuanku menyukai atau terpesona dengan Pak Dean.
“Maaf, Pak. Saya terlambat,” ujarku dengan menunduk di depan pintu kelas yang terbuka.
Semua teman sekelasku menyorakiku termasuk Bella. Kemudian Pak Dean menenangkan suasana yang tidak kondusif. Tiba-tiba Evin pun datang dan berbicara dengan Pak Dean. Bella langsung membuang muka ketika mendapati aku yang memperhatikannya.
Pak Dean menyuruhku duduk dan bergabung untuk menerima pelajaran Matematika. Aku tak lagi duduk sebangku dengan Bella karena aku tahu Bella masih marah denganku dan bukan berarti persahabatan kita akan hancur.
“Tasha, selamat ya!” ujar Pak Dean memberiku selamat tiba-tiba.
Aku mendongak dan semua teman sekelas bertanya-tanya, "Mengapa Pak Dean memberi ucapan selamat?"
Kini Pak Dean mengambil sesuatu yang telah dibungkus berwarna kardus kecil kertas coklat dan menyerahkan kepadaku.
“Congratulations on achieving your dreams! I’m so proud of your hard work!” ujar Pak Dean menyerahkan kardus kecil berlapis kertas coklat itu.
“Thanks. Just for me, Mr? And congrastulation for what?” sahutku sambil menerima kardus kecil berlapis kertas coklat itu.
“Just look!” Perintah Pak Dean dengan santai.
Aku pun membukanya secara perlahan-lahan dengan rasa hati-hati serta penasaran.
“Selamat, Sha! Reach your dream,” ucap Bella ketus dan pergi meninggalkanku tanpa berpamitan dengan Pak Dean.
Ternyata, Pak Dean tahu hal yang kulakukan ketika aku sedang mainan HP.
“Medali,” gerutuku sambil memegang dan memandangi medali tersebut.
“Selamat! Bapak sangat bangga, kau berbakat sekali dengan karya sastra puisi yang mengagumkan! Teruslah berkarya!” Begitulah amanat singkat dari Pak Dean sambil menepuk bahuku.
Sejenak aku kepikiran dengan Bella dan perkataan Bella. Lalu kuputar-putar kembali ingatanku dan mencari tahu akar permasalahan Bella yang bersikap dingin seperti itu.
***
Sepulang sekolah, aku bersama Aprillia dan Rini sedang berada di bawah pohon. Tak biasanya menunggu mobil jemputan yang sangat lama. Kulihat Bella sedang melintas di seberang jalan untuk menyebrang sambil mengendarai motornya. Kutengok ke arah yang Bella tuju.
“Bella!” seruku dan segera menghentikan Bella.
“Maafkan aku, Sha. Aku selalu iri padamu! Bahkan aku tak pantas menjadi sahabatmu. Hanya ingin mendapatkan pujian dan aku harus mengorbankanmu demi impian semataku. Maafkan aku, Sha!” teriak Bella meminta maaf padaku.
“Sudahlah, Bella! Semua itu hal yang wajar dalam persahabatan. Akan tetapi, sahabat akan selalu ada untuk sahabatnya.” Begitulah rasa makhlumku atas perbuatan Bella.
Bella pun mulai mengajakku untuk membangun rasa persahabatan. Aku dan Bella saling berpandangan satu sama lainnya sambil berpelukan di tengah jalan raya.
“Untung sepi,” gerutuku bersamaan dengan Bella.
Yogyakarta, 13 Juni 2017
Begitulah ending dari cerpen ini. Oh ya, cerpen ini kubuat khusus untuk yang selalu menjadi inspirasi tulisanku. Selamat ulang tahun inspirasiku, meskipun jarak dan waktu tak lagi mampu mendekat tetapi kamu tetap abadi. Selamat 17 September 2020 inspirasiku berkacamata dan Happy Wedding yak!
Sisi Depan dan Sisi Belakang
buku FINDING A DREAM
FINDING A DREAM merupakan buku Antologi Cerpen Bersama dengan menggaet beberapa Cerpenis Nusantara berbakat seperti Ridha Fitria, Rather Bee, Firda Shiewa, Ferina Aulia, dan 12 Cerpenis Nusantara lainnya yang diterbitkan oleh CV. Karya Pedia pada tahun 2017 dengan ISBN : 978-602-61941-4-5.
Terima kasih sudah mampir di blog aku! Betah-betah ya gaes! 😁❤ (FS).